Judul : [humorpagi]: Siapa Sekolahnya, Siapa Paniknya?
link : [humorpagi]: Siapa Sekolahnya, Siapa Paniknya?
[humorpagi]: Siapa Sekolahnya, Siapa Paniknya?

Suara alarm seperti siruan ambulans menggema dari kamar utama. Tangan Ibu Ratih meraba-raba ponselnya sambil masih setengah sadar. Sekejap kemudian ia duduk tegak seperti seorang prajurit baru yang bangun dari wajib militer.
"Astaga! Hari pertama sekolah!" teriaknya sambil membangunkan suaminya, Pak Bagas, yang masih setengah tenggelam di dunia mimpi.
"Apakah kamu yang sekolah, Bu?" gumam Pak Bagas sambil memeluk guling.
Tapi kamu yang harus antri membeli roti isi di warung Mbak Darmi sebelum pukul enam! Ingat, Tika mau yang isi cokelat dan keju!
Pak Bagas langsung melompat dari tempat tidur seperti seorang pejuang yang terbangun tiba-tiba. Tanpa mencuci muka, ia langsung pergi menggunakan sarung dan jaket.
Sementara itu, di dapur, Ibu Ratih sibuk menyiapkan bekal. Tiga kotak makan sudah disusun: untuk Tika yang baru masuk SD, untuk Bima yang sudah SMP, dan satu lagi... ups!
Ini milik siapa ya?" gumamnya, bingung. Lalu menyadari: "Oh iya, itu milik Pak Bagas. Dia harus kuat hari ini, dia akan mengantar dua anak sekaligus.
Pukul 05.30.Tika masih tertidur. Rambutnya kusut, tangannya dan kakinya menjulur ke segala arah. Ibu Ratih mengangkat gulingnya perlahan, lalu mulai membangunkannya dengan suara lembut yang lambat laun meningkat menjadi teriakan paduan suara.
Tikaaa... ayo bangun sayang. Nanti kamu telat. Ini hari pertama sekolahmu! Jangan membuat malu keluarga besar kita!
"Aku tidak mau sekolah... ingin jadi kucing saja, bisa tidur terus," keluh Tika sambil menarik selimut.
Di sisi lain rumah, Bima sibuk mencari kaos kaki. "Ibu! Kaos kaki hitamku mana? Yang tidak bolong!"
Ibu Ratih berteriak sambil melemparkan kaos kaki dari dalam lemari.
"Yang sekolah itu kalian, mengapa Ibu yang lebih lelah, ya Allah!" gerutunya, dengan wajah penuh bedak yang belum sempat dihaluskan.
Pukul 06.10.Pak Bagas pulang dengan napas yang tersengal dan sebuah bungkus roti.
"Yang isi cokelat habis! Dapat rasanya kelapa! Semoga anakmu tidak mogok makan di depan gerbang sekolah," katanya sambil menyerahkan plastiknya seolah sedang menyerahkan bahan misi rahasia.
Ya Tuhan ... mengapa rasanya kelapa? Nanti dikira anak orang susah!
Pukul 06.30.Seluruh keluarga berdiri di depan rumah. Tika berpakaian seragam putih-merah kebesaran, rambutnya dikepang seperti lilitan kabel, dan wajahnya cemberut. Bima terlihat seperti model iklan sepatu, meskipun kaos kakinya akhirnya belang.
Ibu Ratih terlihat lebih rapi dari biasanya, lipstik setengah jadi, alis sebelah belum selesai. Tapi ia tersenyum lebar.
Pak Bagas? Tertatih mengangkat tas Tika dan menyeret ransel Bima.
"Kenapa semua orang tua pagi ini lebih panik daripada anak-anaknya?" keluhnya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, suasana seperti festival. Orang tua berlalu lalang, berfoto-foto, saling melirik sepatu, bahkan bersaing merek tempat minum.
Di tengah kerumunan itu, Ibu Ratih memeluk Tika dan berkata, "Anakku, Ibu titip masa depanmu ya. Belajarlah dengan rajin."
Tika menatap ibunya dan menjawab polos, "Ibu, boleh nggak hari pertama ini aku nggak usah masuk kelas? Aku masih mau main ayunan dulu."
Ibu Ratih hanya bisa mengelus dada. "Ya ampun, ini baru hari pertama..."
Pak Bagas tertawa kecil. "Tenang, Bu. Masih ada 179 hari sekolah lainnya tahun ini."
Dan hari itu dimulai dengan sebuah pelajaran penting:
Sekolah Siapa, yang Panik Siapa?
Pukul 04.30 pagi.
Suara alarm seperti siruan ambulans menggema dari kamar utama. Tangan Ibu Ratih meraba-raba ponselnya sambil masih setengah sadar. Sekejap kemudian ia duduk tegak seperti seorang prajurit baru yang bangun dari wajib militer.
"Astaga! Hari pertama sekolah!" teriaknya sambil membangunkan suaminya, Pak Bagas, yang masih setengah tenggelam di dunia mimpi.
"Apakah kamu yang sekolah, Bu?" gumam Pak Bagas sambil memeluk guling.
Tapi kamu yang harus antri membeli roti isi di warung Mbak Darmi sebelum jam enam! Ingat, si Tika mau yang isi cokelat dan keju!
Pak Bagas langsung melompat dari tempat tidur seperti seorang pejuang yang terbangun tiba-tiba. Tanpa mencuci muka, ia langsung pergi menggunakan sarung dan jaket.
Sementara itu, di dapur, Ibu Ratih sibuk menyiapkan bekal. Tiga kotak makan sudah ditata: untuk Tika yang baru masuk SD, untuk Bima yang sudah SMP, dan satu lagi... ups!
Ini milik siapa ya?" gumamnya, bingung. Lalu menyadari: "Oh iya, itu milik Pak Bagas. Dia harus kuat hari ini, dia akan mengantar dua anak sekaligus.
Pukul 05.30.
Tika masih tertidur. Rambutnya kusut, tangannya dan kakinya menjulur ke segala arah. Ibu Ratih mengangkat gulingnya perlahan, lalu mulai membangunkannya dengan suara lembut yang lama-lama meningkat menjadi teriakan paduan suara.
Tikaaa... ayo bangun sayang. Nanti kamu telat. Ini hari pertama sekolahmu! Jangan membuat malu keluarga besar kita!
"Aku tidak mau sekolah... ingin jadi kucing saja, bisa tidur terus," rengek Tika sambil menarik selimut.
Di sisi lain rumah, Bima sibuk mencari kaos kaki. "Ibu! Kaos kaki hitamku mana? Yang tidak bolong!"
Ibu Ratih berteriak sambil melemparkan kaos kaki dari dalam lemari.
"Yang sekolah itu kalian, mengapa Ibu yang lebih lelah, ya Allah!" gerutunya, dengan wajah penuh bedak yang belum sempat dihaluskan.
Pukul 06.10.
Pak Bagas pulang dengan napas yang tersengal dan sebuah bungkus roti.
"Yang isi cokelat habis! Dapat rasanya kelapa! Semoga anakmu tidak mogok makan di depan gerbang sekolah," katanya sambil menyerahkan plastiknya seolah sedang menyerahkan bahan misi rahasia.
Ya Tuhan ... mengapa rasanya kelapa? Nanti orang akan mengira dia anak dari orang miskin!
Pukul 06.30.
Seluruh keluarga berdiri di depan rumah. Tika berpakaian seragam putih-merah kebesaran, rambutnya dikepang seperti lilitan kabel, dan wajahnya cemberut. Bima terlihat seperti model iklan sepatu, meskipun kaos kakinya akhirnya belang.
Ibu Ratih terlihat lebih rapi dari biasanya, lipstik setengah jadi, alis sebelah belum selesai. Tapi ia tersenyum lebar.
Pak Bagas? Tertatih mengangkat tas Tika dan menyeret ransel Bima.
"Kenapa semua orang tua pagi ini lebih panik daripada anak-anaknya?" keluhnya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, suasana seperti festival. Orang tua berlalu lalang, berfoto-foto, saling melirik sepatu, bahkan berlomba merek tempat minum.
Di tengah kerumunan itu, Ibu Ratih memeluk Tika dan berkata, "Anakku, Ibu titip masa depanmu ya. Belajarlah dengan rajin."
Tika menatap ibunya dan menjawab polos, "Ibu, boleh nggak hari pertama ini aku nggak usah masuk kelas? Aku masih mau main ayunan dulu."
Ibu Ratih hanya bisa mengelus dada. "Ya ampun, ini baru hari pertama..."
Pak Bagas tertawa kecil. "Tenang, Bu. Masih ada 179 hari sekolah lainnya tahun ini."
Dan hari itu dimulai dengan pelajaran penting: sekolah memang anaknya, tapi yang diuji kesabarannya... orang tuanya.
Demikianlah Artikel [humorpagi]: Siapa Sekolahnya, Siapa Paniknya?
Anda sekarang membaca artikel [humorpagi]: Siapa Sekolahnya, Siapa Paniknya? dengan alamat link https://www.punyakamu.com/2025/07/humorpagi-siapa-sekolahnya-siapa.html
0 Response to "[humorpagi]: Siapa Sekolahnya, Siapa Paniknya?"
Post a Comment